Dyz@ Midwefery

Dede Yiyin Zulhijjah

Senin, 18 Juni 2012

Makalah Wabah Difteri (Epidemiologi)


BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Difteria masih merupakan penyakit endemic dibanyak negara di dunia. Pada awal tahun 1980-an terjadi peningkatan insidensi  kasus difteria pada negara bekas Uni Soviet karena kekacauan program imunisasi, dan pada tahun 1990-an masih terjadi epidemic yang besar di Rusia dan Ukraina. Pada tahun 2000-an epidemic difteria masih terjadi dan menjalar ke negara-negara tetangga.
Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering menyebabkan kematian. Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi DPT (di Indonesia pada tahun 1974), maka kasus dan kematian akibat difteria berkurang sangat banyak. Angaka mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan angka kematian di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki yang didapatkan dari rumah sakit di kota Jakarta(RSCM), Bandung(RSHS), Makasar(RSWS), Senmarang(RSK), dan Palembang(RSMH) rata-rata sebesar 15%.
Difteria adalah penyakit yang jarang terjadi, biasanya menyerang remaja dan orang dewasa. Di Amerika Serikat selama tahun 1980-1996 terdapat 71% kasus yang menyerang usia kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih dari 39.000 kasus difteria dengan kematian 1100 kasus (CFR= 2,82%), sebagian besar menyerang usia lebih dari 15 tahun. Di Ekuador, Amerika Selatan, pada tahun 1993-1994 terjadi ledakan kasus sebedsar 200 kasus, yang 50%-nya adalah anak berusia 15 tahun atau lebih.1  Dari tahun 1980 sampai 2010, 55 kasus difteri dilaporkan CDC Nasional dilaporkan Penyakit Surveillance System. Sebagian besar kasus (77%) menyerang usia 15 tahun dan lebih ,empat dari lima kasus fatal terjadi di kalangan anak-anak yang tidak divaksinasi, kasus fatal yang kelima adalah seorang laki-laki, dalam 75 tahun kembali  ke Amerika Serikat dari negara dengan penyakit endemic.9 Difteri tetap endemik di banyak bagian dunia berkembang, termasuk beberapa negara Karibia dan Amerika Latin, Eropa Timur, Asia Tenggara, dan Afrika. 9Dari wabah ini mayoritas kasus telah terjadi di kalangan remaja dan orang dewasa, bukan anak-anak. Karena, banyak dari remaja dan orang dewasa belum menerima vaksinasi rutin anak atau dosis booster toksoid difteri.
Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar, Semarang, dan Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda. Selama tahun 1991-1996, dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB difteria di kota Semarang pada tahun 2003, dilaporakan bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14 tahun.1 Khusus provinsi Sumatera Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan kasus difteri cenderung terjadi penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12 kasus) dan terendah pada tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan provinsi terbesar kedua untuk kasus difteri pada tahun 2008 (Dinkes Sumsel, 2010).
Meskipun difteri sekarang dilaporkan hanya jarang di Amerika Serikat, di era prevaccine, penyakit ini adalah salah satu penyebab paling umum dari penyakit dan kematian pada anak-anak.

B.            Tujuan
1.             Tujuan Umum
Mengetahui konsep difteri dan asuhan yang diberikan pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010 s.d 2011.
2.             Tujuan Khusus
a.       Mengetahui dan memahami definisi pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010 s.d 2011.
b.      Mengetahui dan memahami etiologi pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010 s.d 2011.
c.       Mengetahui dan memahami manifestasi klinis pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010 s.d 2011.
d.      Mengetahui dan memahami patofisiologi pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010 s.d 2011.
e.       Mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010 s.d 2011.
f.       Mengetahui dan memahami komplikasi dari pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010 s.d 2011.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A.           Definisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari (FKUI: 2007).
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium diphteriae dan Corynebacterium ulcerans, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini (Acang: 2008).
Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau mukosa (Infeksi dan Tropis Pediatrik IDAI: 2008).
Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dan ditandai dengan terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan local (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).

B.            Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae. Berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Exotoxin yang diproduksi oleh bakteri merupakan suatu protein yang tidak tahan terhadap panas dan cahaya. Bakteri dapat memproduksi toksin bila terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen.Toxin difteri ini, karena mempunyai efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dari Corynebacterium diphtheriae ini yaitu : type mitis, type intermedius dan type gravis.Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19 tipe.  Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen.Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa (Widoyono, 2005).
Organisme ini terlokalisasi di tenggorokan yang meradang bila bakteri ini tumbuh dan mengeluarkan eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan mati, bersama dengan leukosit, eritosit, dan bakteri membentuk eksudat berwarna kelabu suram yang disebut pseudomembran pada faring. Di dalam pseudomembran, bakteri berkembang serta menghasilkan racun. Jika pseudomembran ini meluas sampai ke trakea, maka saluran nafas akan tersumbat dan si penderita akan kesulitan bernafas. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastic (Hastomo, 2008).

C.           Patofisiologi
Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG (Ditjen P2PL Depkes,2003).

D.           Triad Epidemiologi Difteria
1.             Host
Manusia adalah inang atau host alamiah satu-satunya bagi Corynebacterium dhiptheriae. Terjadinya penyakit dan kematian yang tertinggi ialah pada anak-anak berusia 2 sampai 5 tahun. Pada orang dewasa, difteri terjadi dengan frekuensi rendah.


2.             Agent
Corynebacterium diphtheria
  Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg58a3ir7iK1w9qz-RxPfjELwT2PRMzUEXDJ62AsJk_alhbNxuKHCYH3KwvlYIzkJAJLekc4o2akrtElIP-bRIR81gKSgBdXwmjaK-eU9I6hXkhgu4_tbMJ9r31vTgiZZyS2n2j5PWEnO0/s320/difteri-pdf1.jpg
sumber :http://febbyhapsari.wordpress.com/2011/03/20/difteri-sebagai-contoh-food-and-water-borne-disease/
Polimorf, gram positif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora,mati pada pemanasan 60C selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es,air,susu dan lender yang telah mongering. Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk kolonin dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit.
Basil dapat membentuk
1.         Pseudomembran yang sukar diangkat,mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena terdiri dari fibrin,leukosit,jaringan nekrotik dan basil.
2.         Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbs dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung,ginjal dan jaringan saraf.satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan lebih kurang 1/50 dosisi ini dipakai untuk uji schick.
3.             Environment
Penyakit ini dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.

E.            Pathogenesis
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas.
Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan(psedomembrane). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala yang lebih berat dan Kelenjer getah bening yang berada disekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin dapat mengenai jantung dapat menyebabkan miyocarditisct toksik atau mengenai jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otot-otot pernafasan. Toksini ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis interstisial. Penderita yang paling berat didapatkan pada difterifauncial dan faringea karena terjadi penyumbatan membran pada laring dan trakea sehingga saluran nafas ada obstruksi dan terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa mengakibatkan kematian, ini akibat komplikasi yang seriing pada bronkopneumoni.3
Sumber :  http://obatpropolis.com/penyakit-difteri













F.            Manifestasi Klinis
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 °C, ada pseudomembrane bisa di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa faring dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi. (Ditjen P2PL Depkes,2003) 
Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak dan strides, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti iniokorditis paralysis jaringan saraf atau nefritis.

G.           Jenis Jenis Difteri
Anterior nasal difteri
Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.
Description: http://aguskrisnoblog.files.wordpress.com/2011/12/nasal-diphtheria.jpg?w=300&h=200
Gambar : keluaran cairan dari lubang hidung

Pharyngeal dan difteri tonsillar
Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.
Description: http://aguskrisnoblog.files.wordpress.com/2011/12/neuriki-anoreksia.jpg?w=570
Gambar : Anoreksia
Difteri laring
Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
Description: http://aguskrisnoblog.files.wordpress.com/2011/12/batuk.jpg?w=570
Gambar : Batuk Menggonggong
Difteri kulit
Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-vagina, serta kanal auditori eksternal.
Description: http://aguskrisnoblog.files.wordpress.com/2011/12/diphcdc001a.jpg?w=300&h=201
Gambar : Defteri kulit
Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh toksin terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah miokarditis difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan dapat menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima penyakit.
Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena obstruksi jalan napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%, dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri telah berubah sangat sedikit selama 50 tahun terakhir.

H.           Diagnosis
       Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus segera ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. karena preparat smear kurang dapat di percaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari.
Adanya membran di tenggorok tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran.tetapi membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain,warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa dibawahnya. Bila diangkat terjadi pendarahan.biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.


I.              Diagnosis Banding
Pada difteri nasal perdarahan yang timbul Harus dibedakan dengan perdarahan akibat luka dalam hidung,korpus alienium atau sifilis kongenital.
Tonsilitis folikularis atau lakunaris                                                                    
          Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih.anak harus dianggap sebagai penderita difteri bila panas tidak terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membran putih kelabu dan mudah berdarah bila diangkat.tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah,faring dan tonsil tampak hiperimis dengan membran putih kekuningan,rapuh dan lembek,tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja.
 Angina plaut vincent 
Penyakit ini juga membentuk membran yang rapuh,tebal,berbau dan tidak mudah berdarah.sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan spirila (gram negatif).
Infeksi tenggorok oleh mononukleosus infeksiosa                                       
Terdapat kelainan ulkus membranosa yang btidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan kelenjar umum.khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah tepi.
Blood dyscrasia (misal agranulositosis dan leukemia)                                   
Mungkin pula ditemukan ulkus membranusa pada faring dan tonsil.difteri laring harus dibedakan dengan laringitis akuta, laringotrakeitis, laringitis membranosa (dengan membran rapuh yang tidak berdarah) atau benda asing pada laring, yang semuanyaakan memberikan gejala stridor inspirasi dan sesak.
J.             Penatalaksanaan Difteri
1.             Tindakan Umum
Tujuan :
a.       Mencegah terjadinya komplikasi
b.      Mempertahankan/memperbaiki keadaan umum
c.       Mengatasi gejala /akibat yang timbul
Jenis Tindakan :
a.       Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi
b.      Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bilaperlu sonde lambung jika ada kesukaranmenelan (terutama pada paralysisis palatum molle dan otot-otot faring).
c.       Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma, laksansia, stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.
d.      Bila anak gelisah beri sedative : diazepam/luminal
e.       Pemberian antitusif untukmengurangi batuk (difteri laring)
f.       Aspirasi sekret secara periodic terutama untuk difteri laring.
g.      Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas : Berikan Oksige, Trakeostomi, yang mana disesuaikan dengan tingkat dispneu laryngeal menurut Jackson:
1)      Penderita tenang dengan cekungan ringal suprasternal
2)      Retraksi suprasternal lebih dalam + cekungan epigastrium dan penderita gelisah
3)      Retraksi supra dan infrasternal, penderita gelisah
4)      Penderita sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan kehabisan tenaga, lalu tampak seolah-olah tenang, tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia.
Trakeostomi hanya diindikasikan pada tingkat II dan III.

2.             Tindakan Spesifik
Tujuan :
a. Menetralisir Toksin
b. Eradikasi Kuman
c. Menanggulangi infeksi sekunder
Jenis Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) :
a.       Serum Anti Difteri (SAD)
Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.
· 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara unilateral/bilateral.
· 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati tonsil, meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring.
· 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan faring, komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.



Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe difteri
Dosis DS (KI)
Cara Pemberian
Difteri hidung
20.000
IM
Difteri tonsil
40.000
IM atau IV
Difteri faring
40.000
IM atau IV
Difteri laring
40.000
IM atau IV
Kombinasi lokasi di atas
80.000
IV
Difteri + penyulit, bullneck
80.000-120.000
IV
Terlambat berobat (>72 jam), lokasi dimana saja
80.000-120.000
IV

SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya dalam 200 cc NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena SAD merupakan suatu serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada pemberiannya. Untuk mencegah rx anafilaktik ini maka harus dilakukan :

Uji Kepekaan
· Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan sesudah pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.
· Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan (dosisnya 0,01 cc/kg BB im, maksimal diulang 3x dengan interval 5-15 menit ).
· Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.
Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri dari :
Tes kulit
· SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit.
· Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
Tes Mata
· 1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah
· 1 tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya. Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit kemudian
· Dianggap (+) bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi )
· Konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000
Bila salah satu tes kepekaan (+), maka SAD tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensibilisasi) dengan interval 20 menit. SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut:
· 0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
· 0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
· 0,1 cc dari pengenceran 1:10 secara subkutan
· 0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· 0,3 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· 0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· 1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· SAD yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik segera berikan adrenalin 1:1000. 
3.             Antibiotik
Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari.
Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.
4.             Kortikosteroid
Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)
Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.
Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)

K.           Pemeriksaan Penunjang
1.             Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab)
2.              Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
3.              Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
4.              Enzim CPK, segera saat masuk RS
5.              Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
6.              EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.
7.             Tes schick:
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam. (FKUI kapita selekta)
Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri). (Sumarmo: 2008)
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.

L.            Pengobatan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
1.             Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
2.             Pengobatan Khusus 
-Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS) 
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu. 
-Antibiotik 
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin, Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain. 
-Kortikosteroid 
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.
3.             Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.  
4.             Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
5.             Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi.



Tabel 2.Pengobatan terhadap Kontak Difteri
Biakan
Uji Shick
Tindakan
(-)
(-)
Bebas isolasi : anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria
(+)
(-)
Pengobatan karier : adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
(+)
(+)
Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-)
(+)
Toksoid difteri(imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunitas

M.          Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri :
Miokarditis
Biasanya timbul akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga perjalanan penyakit Pemerikasaan Fisik : Irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-tanda payah jantung. Gambaran EKG :
1.       Depresi segmen ST, inversi gelombang T, blok AV, tachicardi ventrikel, fibrilasi ventrikel dan perubahan interval QT
2.       Laborat : kadar enzim jantung meningkat (LDH,CPK,SGOT,SGPT)
3.       Rontgen : jantung membesar bila terdapat gagal jantung
Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelectasis
Urogenital : dapat terjadi nefritis
Penderita difteri (10%) akan mengalami komplikasi yg mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik (terjadi pada akhir minggu pertama perjalanan penyakit dan tanda-tanda renjatan : TD menurun (systol ≤ 80 mmHg), Tekanan nadi menurun, Kulit keabu-abuan dingin dan basah, serta anak gelisah)

N.           Pencegahan
1.             Isolasi 
Penderita penderita difteri harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat corynebacterium diphtheria 2 kali berturut-turut.
2.             Imunisasi
Imunisasi dasar di mulai pada umur 3 bulan di lakukan 3 kali berturut-turut dengan selang waktu 1 bulan.biasanya di berikan bersama-sama toksoid tetanus dan basil B.pertusis yang telah di matikan sehingga di sebut tripel vaksin DTP dan diberikan dengan dosis 0,5 ml subcutan atau intramuskular .vaksinasi ulang dilakukan 1 tahun sesudah suntikan terakhir dari imunisasi dasar atau kira-kira umur 1 ½ -2 tahun dan pada umur 5 tahun.selanjutnya setiap 5 tahun sampai dengan usia 15 tahun hanya di berikan vaksin difteri dan tetanus (vaksin DT) atau apabila ada kontak dengan penderita difteri.
3.             Pencarian dan kemudian mengobati karier difteri
Dilkukan dengan uji schick,yaitu bila hasil negatif (mungkin penderita karier atau pernah mendapat imunisasi)mka harus dilakukan hapusan tenggorok.jika ternyata ditemukan corynebacterium diphtheria,penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.

 

BAB III
KASUS

Penyakit  mematikan berupa infeksi akut pada saluran pernafasan atau dalam bahasa kedokteran disebut Difteri mulai mewabah di Kabupaten Situbondo. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Pemkab Situbondo, mulai bulan  Januari hingga awal Mei   tahun  2012, tercatat sebanyak 60 orang  terjangkit dengan penyakit  yang  disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.
Dua orang  penderita penyakit difteri meninggal dunia di RS Bondowoso, karena dua orang penderita penyakit yang disebabkan oleh bakteri tersebut   sempat menolak untuk  dirujuk ke RSU dr Abdoer Rahem Situbondo, dengan alasan  kedua penderita difteri  itu takut untuk  ditempatkan diruang isolasi RS milik Pemkab Situbondo.
Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan (Dinkes) Pemkab  Situbondo, pada pertengahan tahun 2012 mengatakan tercatat sebanyak 60 orang yang terjangkit dengan penyakit difteri. Bahkan, dua orang penderita diantaranya diketahui meninggal dunia.
Sementara itu, Humas RSU dr Abdoer Rahem Situbondo mengatakan, dalam sepekan terakhir ini tercatat sebanyak 3 pasien penderita penyakit difteri yang menjalani rawat inap di RSU dr Abdoer Rahem Situbonndo, namun 1 penderita diantaranya sudah pulang  karena kondisinya mulai membaik, sedangkan 2 penderita penyakit difteri masih dirawat diruang isolasi Unit Perawatan Fisik (UPF) milik Pemkab Situbondo. Masing-masing adalah Anisyatul (13), anak pasangan suami istri  (Pasutri) asal Desa/Kecamatan Suboh, serta Nabila (3 tahun) anak Pasutri asal Desa Trebungan, Kecamatan Mangaran. Total jumlah pasien penyakit difteri mulai Januari hingga Mei 2012 yang dirawat di RSU dr Abdoer Rahem Situbondo sebanyak 8 pasien, sedangkan pada  awal Mei ini sebanyak 3 pasien yang menjalani rawat inap, namun  untuk memastikan tiga pasien itu  terjangkit penyakit difteri, kami mengirimkan lendir tenggorokan tiga pasien tersebut ke laboratorium di Surabaya, menurut Iir Nadiroh, Humas RSU dr Abdoer Rahem Situbondo.



Anak L usia 6 tahun dibawa ke rumah sakit karena sesak dan demam. Dari pemeriksaan fisik anak L didiagnosa difteri laring dan faring, kemudian dari hasil EKG didapatkan tachicardi. Anak L rewel dan tidak mau makan, sehingga dipasang NGT dan juga terpasang nasal kanul dengan 3 lpm.
Anamnesa:
1.      Identitas pasien :         Nama : L
Usia : 6 Tahun
                                    Jenis Kelamin : Laki-lak
2.      Keluhan Utama : Keluhan utama yang di rasakan pasien adanya sesak nafas.
3.      Riwayat Penyakit Sekarang : Anak L demam, sesak nafas dan tidak mau makan. Sehingga anak L dipasang NGT dan juga terpasang nasal kanul. Dari hasil EKG didapat tachicardy
4.      Riwayat penyakit keluarga
5.      Riwayat penyakit masa lalu
 Pemeriksaan Fisik
·  B1               : Breathing (Respiratory System)
                          RR tak efektif (Sesak nafas)
·  B2               : Blood (Cardiovascular system)
                         tachicardi
·  B3                   : Brain (Nervous system)
                      Normal
·  B4               : Bladder (Genitourinary system)
                      Normal
·  B5               : Bowel (Gastrointestinal System)
                      Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi
·  B6               : Bone (Bone-Muscle-Integument)
                       Lemah pada lengan, turgor kulit
 Diagnosa: Sesak nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas akibat pembengkakan.
Tujuan: Pasien mampu bernafas tetap pada batas normal
Kriteria Hasil:
  • Tidak terjadi Obstruksi jalan nafas
  • Pernapasan tetap pada batas normal
No
Intervensi
Rasional
1.
Oksigenasi dengan pemasangan nasal kanul
Mempertahankan kebutuhan oksigen yang maksimal bagi pasien
2.
Tirah baring selam 2 minggu di ruang isolasi
Untuk mepertahankan atau memperbaiki keadaan umum
3.
Pemberian SAD 40.000 KI secara IM atau IV
Menetralisir toksin sehingga mengurangi peradangan

Diagnosa: Kerusakan (kesulitan) menelan dan nyeri menelan berhubungan dengan peradangan pada faring
Tujuan: Pasien mendapatkan nutrisi yang adekuat.
Kriteria Hasil: Pasien mendapat nutrisi yang cukup dan menunjukkan penambahan berat badan yang memuaskan.
No
Intervensi
Rasional
1.
Beri makan melalui Naso Gastric Tube (NGT)
Untuk memberikan nutrisi sampai pemberian makanan oral memungkinkan.
2.
Pantau masukan keluaran dan berat badan.
Untuk mengkaji keadekuatan masukan nutrisi.

Diagnosa : Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur pemasangan NGT
Tujuan: Pasien tidak mengalami infeksi.
Kriteria Hasil: Anak tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi karena pemasangan Naso Gastric Tube
No
Intervensi
Rasional
1.
Bersihkan kateter sesering mungkin
Untuk mencegah bakteri masuk ke dalam tubuh
Diagnosa: Ansietas berhubungan dengan kesulitan menelan, ketidaknyamanan karena pemasangan NGT.
Tujuan: Pasien mengalami rasa aman tanda ketidaknyamanan.
Kriteria Hasil:
  • Pasien istirahat dengan tenang, sadar bila terjaga.
  • Mulut tetap bersih dan lembab.
  • Nyeri yang dialami pasien minimal atau tidak ada.
No
Intervensi
Rasional
1.
Beri stimulasi taktil (mis; membelai, mengayun).
Untuk memudahkan perkembangan optimal dan meningkatkan kenyamanan.
2.
Beri perawatan mulut.
Untuk menjaga agar mulut tetap bersih dan membran mukosa lembab.
3.
Dorong orangtua untuk berpastisipasi dalam perawatan anak.
Untuk memberikan rasa nyaman dan aman.
Diagnosa  : Tachicardi berhubungan dengan penyebaran eksotoksin ke daerah jantung
Tujuan : Denyut jantung normal dan pasien tidak gelisah
Kriteria hasil:
-          bunyi jantung normal
-          tidak ditemukan tanda-tanda payah jantung.
-          gambaran EKG : tidak ada depresi segmen ST
No.
Intervensi
Rasional
1.
Pemberian ADS 40.000 KI secara IM atau IV
-          Menetralisir Toksin
-           Eradikasi Kuman
-           Menanggulangi infeksi sekunder
2.
Pemberian obat sedative    (diazepam/luminal)
Untuk mengurangi rasa gelisah anak
3.
Pantau terus hasil perekaman EKG
Untuk evaluasi segala kedaaan dari miokard



BAB IV
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheria, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection dan difteri kulit yang mencemari tanah sekitarnya.
Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi 3 yaitu, difteri hidung, difteri faring, difteri laring dan difteri kutaneus.
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularancarier bisa sampai 6 bulan.
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah : Panas lebih dari 38 °C, Adapsedomembrane bisa dipharynx,larynx atau tonsil. Sakit waktu menelan. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakakn kelenjar leher
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat
Pencegahan difteri dilakukan dengan cara, yaitu : Isolasi penderita, Imunisasi, dengan memberikan imunisasi DPT pada bayi dan vaksin DT pada anak usia sekolah dasar
Pencegahan dan kemudian mengobati karier difteria
1.           Pengobatan difteria dilakukan untuk menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.a.       Pengobatan umum
2.           Pengobatan khusus, yaitu dengan memberikan antitoksin (Anti Diptheriar Serum ), antibiotic dan kortikosteroid
3.           Pengobatan  penyulit
4.           Pengobatan kontak
5.            Pengobatan karier

B.            Saran
Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.
Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5 sempurna.


DAFTAR PUSTAKA

Widoyono.2005.Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan Pemberantasannya.Erlanggga: Jakarta.

Iskandar,Nurbaiti,dkk.editor;Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2000.Hal 177-178.

Hastomo.2008.Makalah Tentang Penyakit Menular Difteri.Politeknik Kesehatan Yogyakarta, diakses dari http://www.scribd.com/doc/22270094/difteri

Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit),2007, Jakarta

Kadun I Nyoman. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. CV Infomedika: Jakarta

Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Medika: Jakarta

Sumarmo, dkk. 2008. Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Bag. IKA FK UI: Jakarta

Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta

Staf Pengajar IKA FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Vol.2. Infomedika: Jakarta