BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Difteria masih merupakan penyakit endemic dibanyak negara di
dunia. Pada awal tahun 1980-an terjadi peningkatan insidensi kasus
difteria pada negara bekas Uni Soviet karena kekacauan program imunisasi, dan
pada tahun 1990-an masih terjadi epidemic yang besar di Rusia dan Ukraina. Pada
tahun 2000-an epidemic difteria masih terjadi dan menjalar ke negara-negara
tetangga.
Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang
sering menyebabkan kematian. Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi
DPT (di Indonesia pada tahun 1974), maka kasus dan kematian akibat difteria
berkurang sangat banyak. Angaka mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan angka
kematian di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki yang didapatkan dari
rumah sakit di kota Jakarta(RSCM), Bandung(RSHS), Makasar(RSWS),
Senmarang(RSK), dan Palembang(RSMH) rata-rata sebesar 15%.
Difteria adalah penyakit yang jarang terjadi, biasanya
menyerang remaja dan orang dewasa. Di Amerika Serikat selama tahun 1980-1996
terdapat 71% kasus yang menyerang usia kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1994
terdapat lebih dari 39.000 kasus difteria dengan kematian 1100 kasus (CFR=
2,82%), sebagian besar menyerang usia lebih dari 15 tahun. Di Ekuador, Amerika
Selatan, pada tahun 1993-1994 terjadi ledakan kasus sebedsar 200 kasus, yang
50%-nya adalah anak berusia 15 tahun atau lebih.1 Dari tahun
1980 sampai 2010, 55 kasus difteri dilaporkan CDC Nasional dilaporkan Penyakit
Surveillance System. Sebagian besar kasus (77%) menyerang usia 15 tahun dan
lebih ,empat dari lima kasus fatal terjadi di kalangan anak-anak yang tidak
divaksinasi, kasus fatal yang kelima adalah seorang laki-laki, dalam 75 tahun
kembali ke Amerika Serikat dari negara dengan penyakit endemic.9
Difteri tetap endemik di banyak bagian dunia berkembang, termasuk beberapa
negara Karibia dan Amerika Latin, Eropa Timur, Asia Tenggara, dan Afrika.
9Dari wabah ini mayoritas kasus telah terjadi di kalangan remaja dan
orang dewasa, bukan anak-anak. Karena, banyak dari remaja dan orang dewasa
belum menerima vaksinasi rutin anak atau dosis booster toksoid difteri.
Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta,
Bandung, Makassar, Semarang, dan Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka
yang berbeda. Selama tahun 1991-1996, dari 473 pasien difteria, terdapat 45%
usia balita, 27% usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia
diatas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB difteria di kota Semarang pada tahun
2003, dilaporakan bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta
30% berusia 5-14 tahun.1 Khusus provinsi Sumatera Selatan, selama
tahun 2003-2009 penemuan kasus difteri cenderung terjadi penurunan, kasus
terbanyak pada tahun 2007 (12 kasus) dan terendah pada tahun 2003 (2 kasus),
meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan provinsi terbesar kedua untuk
kasus difteri pada tahun 2008 (Dinkes Sumsel, 2010).
Meskipun difteri sekarang dilaporkan hanya jarang di Amerika
Serikat, di era prevaccine, penyakit ini adalah salah satu penyebab paling umum
dari penyakit dan kematian pada anak-anak.
B.
Tujuan
1.
Tujuan
Umum
Mengetahui
konsep difteri dan asuhan yang diberikan pada penderita difteri di jawa timur
tahun 2010 s.d 2011.
2.
Tujuan
Khusus
a.
Mengetahui
dan memahami definisi pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010 s.d 2011.
b.
Mengetahui
dan memahami etiologi pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010 s.d 2011.
c.
Mengetahui
dan memahami manifestasi klinis pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010
s.d 2011.
d.
Mengetahui
dan memahami patofisiologi pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010 s.d
2011.
e.
Mengetahui
dan memahami penatalaksanaan pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010
s.d 2011.
f.
Mengetahui
dan memahami komplikasi dari pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010
s.d 2011.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Definisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang
disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan
menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan tanda khas berupa
pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum
dan lokal. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu
dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari (FKUI:
2007).
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi
secara lokal pada mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium
diphteriae dan Corynebacterium ulcerans, ditandai oleh
terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi, dan diikuti
oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh
basil ini (Acang: 2008).
Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat
menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan
pseudo-membran pada kulit dan/atau mukosa (Infeksi dan Tropis Pediatrik IDAI:
2008).
Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang
disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang
diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dan ditandai dengan
terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan
gejala umum dan local (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).
B.
Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium
diphtheriae. Berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau
kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat
mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Exotoxin yang diproduksi oleh bakteri
merupakan suatu protein yang tidak tahan terhadap panas dan cahaya. Bakteri
dapat memproduksi toksin bila terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toksigen.Toxin difteri ini, karena mempunyai efek patoligik meyebabkan orang
jadi sakit. Ada tiga type variants dari Corynebacterium diphtheriae ini
yaitu : type mitis, type intermedius dan type gravis.Corynebacterium
diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19
tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius,
tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya
termasuk tipe gravis yang virulen.Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk
satu atau dua varian yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia,
pada selaput mukosa (Widoyono, 2005).
Organisme ini terlokalisasi di tenggorokan yang meradang
bila bakteri ini tumbuh dan mengeluarkan eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan
mati, bersama dengan leukosit, eritosit, dan bakteri membentuk eksudat berwarna
kelabu suram yang disebut pseudomembran pada faring. Di dalam pseudomembran,
bakteri berkembang serta menghasilkan racun. Jika pseudomembran ini meluas
sampai ke trakea, maka saluran nafas akan tersumbat dan si penderita akan
kesulitan bernafas. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini
sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi
sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan,
jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastic
(Hastomo, 2008).
C.
Patofisiologi
Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar
permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan.
Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari
tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga
saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan
ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi
oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau
racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan
jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu,
misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada
minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam,
bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi
kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis)
bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat
ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat
berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan
jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada
penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang
kulit.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan
pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang
mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang
lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran
inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas
dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis
ditegakkan. Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan
dibuat biakan di laboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang
terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG (Ditjen P2PL
Depkes,2003).
D.
Triad Epidemiologi Difteria
1.
Host
Manusia adalah inang atau host alamiah satu-satunya bagi
Corynebacterium dhiptheriae. Terjadinya penyakit dan kematian yang tertinggi
ialah pada anak-anak berusia 2 sampai 5 tahun. Pada orang dewasa, difteri
terjadi dengan frekuensi rendah.
2.
Agent
Corynebacterium diphtheria
sumber
:http://febbyhapsari.wordpress.com/2011/03/20/difteri-sebagai-contoh-food-and-water-borne-disease/
Polimorf, gram positif, tidak bergerak dan tidak membentuk
spora,mati pada pemanasan 60C selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu
dalam es,air,susu dan lender yang telah mongering. Terdapat 3 jenis basil yaitu
bentuk gravis, mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk kolonin dalam
biakan agar darah yang mengandung kalium telurit.
Basil
dapat membentuk
1.
Pseudomembran
yang sukar diangkat,mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi
daerah yang terkena terdiri dari fibrin,leukosit,jaringan nekrotik dan basil.
2.
Eksotoksin
yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbs
dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot
jantung,ginjal dan jaringan saraf.satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh
marmut dan lebih kurang 1/50 dosisi ini dipakai untuk uji schick.
3.
Environment
Penyakit ini dijumpai pada daerah padat penduduk dengan
tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah
penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk
merupakan sumber dan penularan penyakit.
E.
Pathogenesis
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik
sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak
dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui
pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5
hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa
penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama
saluran pernafasan bagian atas.
Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah
tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah
melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu
terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan(psedomembrane). Membran ini
sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri
dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala yang
lebih berat dan Kelenjer getah bening yang berada disekitarnya akan mengalami
hiperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin dapat mengenai jantung dapat
menyebabkan miyocarditisct toksik atau mengenai jaringan perifer sehingga
timbul paralisis terutama pada otot-otot pernafasan. Toksini ini juga dapat
menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis
interstisial. Penderita yang paling berat didapatkan pada difterifauncial dan
faringea karena terjadi penyumbatan membran pada laring dan trakea sehingga
saluran nafas ada obstruksi dan terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa
mengakibatkan kematian, ini akibat komplikasi yang seriing pada bronkopneumoni.3
Sumber : http://obatpropolis.com/penyakit-difteri
F.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38
°C, ada pseudomembrane bisa di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan,
leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan
kelenjar leher. Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap
anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa faring dan tonsilnya apakah
ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan
disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen)
berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri
menelan. Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit
kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi. (Ditjen
P2PL Depkes,2003)
Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membrane, selanjutnya
gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada
jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu
tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita
sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk
setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas
dengan sesak dan strides, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada
jaringan yang terkena seperti iniokorditis paralysis jaringan saraf atau
nefritis.
G.
Jenis Jenis Difteri
Anterior nasal difteri
Biasanya
ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen (berisi baik lendir dan
nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena
penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh
antitoksin dan terapi antibiotik.
Gambar
: keluaran cairan dari lubang hidung
Pharyngeal dan difteri tonsillar
Tempat
yang paling umum adalah infeksi faring dan tonsil. Awal gejala termasuk
malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi.
Pasien bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi
cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari.
Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah
submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.
Gambar
: Anoreksia
Difteri laring
Difteri
laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala termasuk demam, suara
serak, dan batuk menggonggong. membran dapat menyebabkan obstruksi jalan napas,
koma, dan kematian.
Gambar
: Batuk Menggonggong
Difteri kulit
Difteri
kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat oleh ruam atau
ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain keterlibatan
termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-vagina, serta kanal
auditori eksternal.
Gambar
: Defteri kulit
Kebanyakan
komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh toksin
terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah
miokarditis difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak
normal dan dapat menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi pada
bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi saraf
motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan kelumpuhan
diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima penyakit.
Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi
pernafasan karena obstruksi jalan napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas
kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%, dengan tingkat kematian lebih
tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri telah berubah
sangat sedikit selama 50 tahun terakhir.
H.
Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin
sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus segera ditegakkan berdasarkan
gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. karena preparat smear
kurang dapat di percaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa
hari.
Adanya membran di tenggorok tidak terlalu spesifik untuk
difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran.tetapi
membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain,warna membran
pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih banyak
fibrin dan melekat dengan mukosa dibawahnya. Bila diangkat terjadi
pendarahan.biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.
I.
Diagnosis Banding
Pada difteri nasal perdarahan yang timbul Harus dibedakan
dengan perdarahan akibat luka dalam hidung,korpus alienium atau sifilis
kongenital.
Tonsilitis folikularis atau
lakunaris
Terutama bila
membran masih berupa bintik-bintik putih.anak harus dianggap sebagai penderita
difteri bila panas tidak terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat
membran putih kelabu dan mudah berdarah bila diangkat.tonsilitis lakunaris biasanya
disertai panas yang tinggi sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah,faring
dan tonsil tampak hiperimis dengan membran putih kekuningan,rapuh dan
lembek,tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja.
Angina plaut vincent
Penyakit ini juga membentuk membran yang rapuh,tebal,berbau
dan tidak mudah berdarah.sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis
(gram positif) dan spirila (gram negatif).
Infeksi tenggorok oleh mononukleosus
infeksiosa
Terdapat kelainan ulkus membranosa yang btidak mudah
berdarah dan disertai pembengkakan kelenjar umum.khas pada penyakit ini
terdapat peningkatan monosit dalam darah tepi.
Blood dyscrasia (misal
agranulositosis dan
leukemia)
Mungkin pula ditemukan ulkus membranusa pada faring dan
tonsil.difteri laring harus dibedakan dengan laringitis akuta,
laringotrakeitis, laringitis membranosa (dengan membran rapuh yang tidak
berdarah) atau benda asing pada laring, yang semuanyaakan memberikan gejala
stridor inspirasi dan sesak.
J.
Penatalaksanaan Difteri
1.
Tindakan
Umum
Tujuan :
Tujuan :
a. Mencegah terjadinya komplikasi
b. Mempertahankan/memperbaiki keadaan
umum
c. Mengatasi gejala /akibat yang timbul
Jenis Tindakan :
a. Perawatan tirah baring selama 2
minggu dalam ruang isolasi
b. Jamin intake cairan dan makanan.
Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini dapat diberikan
makanan lunak, saring/cair, bilaperlu sonde lambung jika ada kesukaranmenelan
(terutama pada paralysisis palatum molle dan otot-otot faring).
c. Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu
berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma, laksansia, stool softener) untuk mencegah
mengedan berlebihan.
d. Bila anak gelisah beri sedative :
diazepam/luminal
e. Pemberian antitusif untukmengurangi
batuk (difteri laring)
f. Aspirasi sekret secara periodic terutama
untuk difteri laring.
g. Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan
nafas : Berikan Oksige, Trakeostomi, yang mana disesuaikan dengan tingkat
dispneu laryngeal menurut Jackson:
1) Penderita tenang dengan cekungan
ringal suprasternal
2) Retraksi suprasternal lebih dalam +
cekungan epigastrium dan penderita gelisah
3) Retraksi supra dan infrasternal,
penderita gelisah
4) Penderita sangat gelisah, ketakutan,
muka pucat kelabu dan akan kehabisan tenaga, lalu tampak seolah-olah tenang,
tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia.
Trakeostomi
hanya diindikasikan pada tingkat II dan III.
2.
Tindakan
Spesifik
Tujuan :
a. Menetralisir Toksin
b. Eradikasi Kuman
c. Menanggulangi infeksi sekunder
Jenis Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) :
Tujuan :
a. Menetralisir Toksin
b. Eradikasi Kuman
c. Menanggulangi infeksi sekunder
Jenis Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) :
a. Serum Anti Difteri (SAD)
Dosis
diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.
· 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara unilateral/bilateral.
· 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara unilateral/bilateral.
·
80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati
tonsil, meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring.
· 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan faring, komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.
· 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan faring, komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.
Tabel
1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe
difteri
|
Dosis
DS (KI)
|
Cara
Pemberian
|
Difteri
hidung
|
20.000
|
IM
|
Difteri
tonsil
|
40.000
|
IM
atau IV
|
Difteri
faring
|
40.000
|
IM
atau IV
|
Difteri
laring
|
40.000
|
IM
atau IV
|
Kombinasi
lokasi di atas
|
80.000
|
IV
|
Difteri
+ penyulit, bullneck
|
80.000-120.000
|
IV
|
Terlambat
berobat (>72 jam), lokasi dimana saja
|
80.000-120.000
|
IV
|
SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya dalam 200 cc NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena SAD merupakan suatu serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada pemberiannya. Untuk mencegah rx anafilaktik ini maka harus dilakukan :
Uji Kepekaan
· Pengawasan tanda vital dan reaksi
lainnya seperti perluasan membran, selama dan sesudah pemberian SAD terutama
sampai 2 jam setelah pemberian serum.
· Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit
harus selalu disediakan (dosisnya 0,01 cc/kg BB im, maksimal diulang 3x dengan
interval 5-15 menit ).
· Sarana dan penanggulangan reaksi
anafilaktik harus tersedia.
Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri
dari :
Tes kulit
· SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam
NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit.
· Dianggap positif bila teraba
indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
Tes Mata
Tes Mata
· 1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam
NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah
· 1 tetes NaCl 0,9% digunakan
sebagai kontras pada mata lainnya. Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit
kemudian
· Dianggap (+) bila ada tanda
konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi )
· Konjungtivitis diobati dengan
adrenalin 1:1000
Bila salah satu tes kepekaan (+),
maka SAD tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap,
yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensibilisasi)
dengan interval 20 menit. SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai
berikut:
· 0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
· 0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
· 0,1 cc dari pengenceran 1:20
secara subkutan
· 0,1 cc dari pengenceran 1:10
secara subkutan
· 0,1 cc tanpa pengenceran secara
subkutan
· 0,3 cc tanpa pengenceran secara
subkutan
· 0,5 cc tanpa pengenceran secara
subkutan
· 1 cc tanpa pengenceran secara
subkutan
· SAD yang sisa diberikan secara
drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik segera berikan adrenalin
1:1000.
3.
Antibiotik
Penicillin
prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari.
Eritromisin
(bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.
4.
Kortikosteroid
Indikasi
: Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)
Prednison
2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.
Dexamethazon
0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)
K.
Pemeriksaan Penunjang
1.
Bakteriologik.
Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok
(nasofaringeal swab)
2.
Darah
rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
3.
Urin
lengkap : aspek, protein dan sedimen
4.
Enzim
CPK, segera saat masuk RS
5.
Ureum
dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
6.
EKG
secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung
dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada
indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.
7.
Tes
schick:
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk
mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer
antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan infeksi
difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan
intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada
seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas
suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin
rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah
kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan
reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas
atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi
alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam. (FKUI
kapita selekta)
Uji ini berguna untuk mendiagnosis
kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang mengalami kontak dengan
difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick test ialah,
sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada
lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi
dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang
diameternya 10mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya
antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri). (Sumarmo: 2008)
Perlu diperhatikan bahwa hasil
positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal
ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang dalam waktu
48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama
beberapa hari.
L.
Pengobatan
Tujuan pengobatan penderita difteria
adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan
mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae
untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
difteria.
1.
Pengobatan
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut
terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada
umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama
kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada
difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan humidifier.
2.
Pengobatan
Khusus
-Antitoksin :
Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat
diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka
kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari
ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.Sebelum pemberian
ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu.
-Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin, Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin, Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
-Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.
3.
Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk
menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin
umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan
pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
4.
Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien
sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan
tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui,
pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi
dasar diberikan booster toksoid difteria.
5.
Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak
menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick
negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang
dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau
eritromisin40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi / adenoidektomi.
Tabel
2.Pengobatan terhadap Kontak Difteri
Biakan
|
Uji
Shick
|
Tindakan
|
(-)
|
(-)
|
Bebas
isolasi : anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar diberikan booster
toksoid difteria
|
(+)
|
(-)
|
Pengobatan
karier : adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin
40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
|
(+)
|
(+)
|
Penisilin
100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI
|
(-)
|
(+)
|
Toksoid
difteri(imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunitas
|
M.
Komplikasi
Komplikasi
yang timbul pada pasien difteri :
Miokarditis
Biasanya
timbul akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga perjalanan penyakit
Pemerikasaan Fisik : Irama derap,
bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-tanda payah
jantung. Gambaran EKG :
1. Depresi segmen ST, inversi gelombang
T, blok AV, tachicardi ventrikel, fibrilasi ventrikel dan perubahan interval QT
2. Laborat : kadar enzim jantung
meningkat (LDH,CPK,SGOT,SGPT)
3. Rontgen : jantung membesar bila
terdapat gagal jantung
Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelectasis
Urogenital : dapat terjadi nefritis
Penderita difteri (10%) akan
mengalami komplikasi yg mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik (terjadi
pada akhir minggu pertama perjalanan penyakit dan tanda-tanda renjatan : TD
menurun (systol ≤ 80 mmHg), Tekanan nadi menurun, Kulit keabu-abuan dingin dan
basah, serta anak gelisah)
N.
Pencegahan
1.
Isolasi
Penderita penderita difteri harus diisolasi dan baru dapat
dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat
corynebacterium diphtheria 2 kali berturut-turut.
2.
Imunisasi
Imunisasi dasar di mulai pada umur 3 bulan di lakukan 3 kali
berturut-turut dengan selang waktu 1 bulan.biasanya di berikan bersama-sama
toksoid tetanus dan basil B.pertusis yang telah di matikan sehingga di sebut
tripel vaksin DTP dan diberikan dengan dosis 0,5 ml subcutan atau intramuskular
.vaksinasi ulang dilakukan 1 tahun sesudah suntikan terakhir dari imunisasi
dasar atau kira-kira umur 1 ½ -2 tahun dan pada umur 5 tahun.selanjutnya setiap
5 tahun sampai dengan usia 15 tahun hanya di berikan vaksin difteri dan tetanus
(vaksin DT) atau apabila ada kontak dengan penderita difteri.
3.
Pencarian dan kemudian mengobati
karier difteri
Dilkukan dengan uji schick,yaitu bila hasil negatif (mungkin
penderita karier atau pernah mendapat imunisasi)mka harus dilakukan hapusan
tenggorok.jika ternyata ditemukan corynebacterium diphtheria,penderita harus
diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.
BAB III
KASUS
Penyakit mematikan berupa
infeksi akut pada saluran pernafasan atau dalam bahasa kedokteran disebut
Difteri mulai mewabah di Kabupaten Situbondo. Berdasarkan data dari Dinas
Kesehatan (Dinkes) Pemkab Situbondo, mulai bulan Januari hingga awal
Mei tahun 2012, tercatat sebanyak 60 orang terjangkit
dengan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
diphtheriae.
Dua orang penderita penyakit
difteri meninggal dunia di RS Bondowoso, karena dua orang penderita penyakit
yang disebabkan oleh bakteri tersebut sempat menolak untuk
dirujuk ke RSU dr Abdoer Rahem Situbondo, dengan alasan kedua penderita
difteri itu takut untuk ditempatkan diruang isolasi RS milik Pemkab
Situbondo.
Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan (Dinkes) Pemkab
Situbondo, pada pertengahan tahun 2012 mengatakan tercatat sebanyak 60 orang
yang terjangkit dengan penyakit difteri. Bahkan, dua orang penderita
diantaranya diketahui meninggal dunia.
Sementara itu, Humas RSU dr Abdoer
Rahem Situbondo mengatakan, dalam sepekan terakhir ini tercatat sebanyak 3
pasien penderita penyakit difteri yang menjalani rawat inap di RSU dr Abdoer
Rahem Situbonndo, namun 1 penderita diantaranya sudah pulang karena kondisinya
mulai membaik, sedangkan 2 penderita penyakit difteri masih dirawat diruang
isolasi Unit Perawatan Fisik (UPF) milik Pemkab Situbondo. Masing-masing adalah
Anisyatul (13), anak pasangan suami istri (Pasutri) asal Desa/Kecamatan
Suboh, serta Nabila (3 tahun) anak Pasutri asal Desa Trebungan, Kecamatan
Mangaran. Total jumlah pasien penyakit difteri mulai Januari hingga Mei 2012
yang dirawat di RSU dr Abdoer Rahem Situbondo sebanyak 8 pasien, sedangkan
pada awal Mei ini sebanyak 3 pasien yang menjalani rawat inap,
namun untuk memastikan tiga pasien itu terjangkit penyakit difteri,
kami mengirimkan lendir tenggorokan tiga pasien tersebut ke laboratorium di
Surabaya, menurut Iir Nadiroh, Humas RSU dr Abdoer Rahem Situbondo.
Anak
L usia 6 tahun dibawa ke rumah sakit karena sesak dan demam. Dari pemeriksaan
fisik anak L didiagnosa difteri laring dan faring, kemudian dari hasil EKG
didapatkan tachicardi. Anak L rewel dan tidak mau makan, sehingga dipasang NGT
dan juga terpasang nasal kanul dengan 3 lpm.
Anamnesa:
1. Identitas pasien : Nama : L
Usia : 6 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-lak
2. Keluhan Utama : Keluhan utama yang
di rasakan pasien adanya sesak nafas.
3. Riwayat Penyakit Sekarang : Anak L
demam, sesak nafas dan tidak mau makan. Sehingga anak L dipasang NGT dan juga
terpasang nasal kanul. Dari hasil EKG didapat tachicardy
4. Riwayat penyakit keluarga
5. Riwayat penyakit masa lalu
Pemeriksaan Fisik
· B1
: Breathing (Respiratory System)
RR tak efektif (Sesak nafas)
· B2
: Blood (Cardiovascular system)
tachicardi
· B3
: Brain (Nervous system)
Normal
· B4
: Bladder (Genitourinary system)
Normal
· B5
: Bowel (Gastrointestinal System)
Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi
· B6
: Bone (Bone-Muscle-Integument)
Lemah pada lengan, turgor kulit
Diagnosa: Sesak nafas berhubungan dengan
obstruksi jalan nafas akibat pembengkakan.
Tujuan: Pasien mampu bernafas tetap pada
batas normal
Kriteria Hasil:
- Tidak terjadi Obstruksi jalan nafas
- Pernapasan tetap pada batas normal
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Oksigenasi dengan pemasangan nasal
kanul
|
Mempertahankan kebutuhan oksigen
yang maksimal bagi pasien
|
2.
|
Tirah baring selam 2 minggu di
ruang isolasi
|
Untuk mepertahankan atau
memperbaiki keadaan umum
|
3.
|
Pemberian SAD 40.000 KI secara IM
atau IV
|
Menetralisir toksin sehingga mengurangi
peradangan
|
Diagnosa: Kerusakan (kesulitan) menelan dan
nyeri menelan berhubungan dengan peradangan pada faring
Tujuan: Pasien mendapatkan nutrisi yang
adekuat.
Kriteria Hasil: Pasien mendapat nutrisi yang cukup
dan menunjukkan penambahan berat badan yang memuaskan.
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Beri makan melalui Naso Gastric
Tube (NGT)
|
Untuk memberikan nutrisi sampai
pemberian makanan oral memungkinkan.
|
2.
|
Pantau masukan keluaran dan berat
badan.
|
Untuk mengkaji keadekuatan masukan
nutrisi.
|
Diagnosa : Resiko tinggi cedera berhubungan
dengan prosedur pemasangan NGT
Tujuan: Pasien tidak mengalami infeksi.
Kriteria Hasil: Anak tidak menunjukkan bukti-bukti
infeksi karena pemasangan Naso Gastric Tube
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Bersihkan kateter sesering mungkin
|
Untuk mencegah bakteri masuk ke
dalam tubuh
|
Diagnosa: Ansietas berhubungan dengan kesulitan
menelan, ketidaknyamanan karena pemasangan NGT.
Tujuan: Pasien mengalami rasa aman tanda
ketidaknyamanan.
Kriteria Hasil:
- Pasien istirahat dengan tenang, sadar bila terjaga.
- Mulut tetap bersih dan lembab.
- Nyeri yang dialami pasien minimal atau tidak ada.
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Beri stimulasi taktil (mis;
membelai, mengayun).
|
Untuk memudahkan perkembangan
optimal dan meningkatkan kenyamanan.
|
2.
|
Beri perawatan mulut.
|
Untuk menjaga agar mulut tetap
bersih dan membran mukosa lembab.
|
3.
|
Dorong orangtua untuk
berpastisipasi dalam perawatan anak.
|
Untuk memberikan rasa nyaman dan
aman.
|
Diagnosa : Tachicardi berhubungan dengan penyebaran
eksotoksin ke daerah jantung
Tujuan : Denyut jantung normal dan pasien
tidak gelisah
Kriteria hasil:
-
bunyi jantung normal
-
tidak ditemukan tanda-tanda payah jantung.
-
gambaran EKG : tidak ada depresi segmen ST
No.
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Pemberian ADS 40.000 KI secara IM
atau IV
|
-
Menetralisir Toksin
-
Eradikasi Kuman
-
Menanggulangi infeksi sekunder
|
2.
|
Pemberian obat sedative
(diazepam/luminal)
|
Untuk mengurangi rasa gelisah anak
|
3.
|
Pantau terus hasil perekaman EKG
|
Untuk evaluasi segala kedaaan dari
miokard
|
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Difteri adalah penyakit yang disebabkan
oleh kuman Corynebacterium
diphtheria, oleh karena itu penyakitnya diberi nama
serupa dengan kuman penyebabnya.
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik
sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak
dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui
pernafasan atau droplet infection dan difteri kulit yang mencemari tanah
sekitarnya.
Menurut lokasi gejala difteria dibagi
menjadi 3 yaitu, difteri hidung, difteri
faring, difteri laring dan difteri kutaneus.
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa
penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa
penularancarier bisa sampai 6 bulan.
Gejala klinis penyakit difteri ini
adalah :
Panas lebih
dari 38 °C, Adapsedomembrane
bisa dipharynx,larynx atau tonsil. Sakit waktu menelan. Leher
membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakakn kelenjar leher
Menurut tingkat keparahannya, penyakit
ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi
berat
Pencegahan difteri dilakukan dengan cara, yaitu : Isolasi
penderita, Imunisasi, dengan memberikan imunisasi DPT pada bayi dan vaksin DT
pada anak usia sekolah dasar
Pencegahan
dan kemudian mengobati karier difteria
1.
Pengobatan
difteria dilakukan untuk menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.
diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan
penyulit difteria.a.
Pengobatan umum
2.
Pengobatan
khusus, yaitu dengan memberikan antitoksin (Anti Diptheriar
Serum ), antibiotic dan kortikosteroid
3.
Pengobatan
penyulit
4.
Pengobatan
kontak
5.
Pengobatan karier
B.
Saran
Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka
disarankan untuk anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang
merupakan wajib pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10
tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi
booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian
mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.
Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi
minum es karena minum minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat
mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga
kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri mudah menular dalam
lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan yang
dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5 sempurna.
DAFTAR
PUSTAKA
Widoyono.2005.Penyakit Tropis
Epidemiologi Penularan dan Pemberantasannya.Erlanggga: Jakarta.
Iskandar,Nurbaiti,dkk.editor;Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok.Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.2000.Hal 177-178.
Hastomo.2008.Makalah Tentang
Penyakit Menular Difteri.Politeknik Kesehatan Yogyakarta, diakses dari http://www.scribd.com/doc/22270094/difteri
Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku
Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman
Epidemiologi Penyakit),2007, Jakarta
Kadun I Nyoman. 2006. Manual
Pemberantasan Penyakit Menular. CV Infomedika: Jakarta
Nursalam, dkk. 2005. Asuhan
Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Medika: Jakarta
Sumarmo, dkk. 2008. Infeksi dan
Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Bag. IKA FK UI:
Jakarta
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta
Staf Pengajar IKA FKUI. 2007. Ilmu
Kesehatan Anak. Vol.2. Infomedika: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar